Donald Trump, Presiden terpilih AS, telah menunjuk lima sekretaris kabinet yang dikenal bersikap keras terhadap Tiongkok. Nama-nama seperti Marco Rubio, John Ratcliffe, hingga Mike Waltz menggambarkan kabinet yang menekankan keamanan, hak asasi manusia, dan kebijakan proteksionis. Hal ini memicu spekulasi tentang kemungkinan eskalasi perang dagang baru antara AS dan Tiongkok.
Tiongkok Diperkirakan Tidak Akan Mengalah
Perang dagang AS-Tiongkok yang dimulai pada 2017 menyebabkan tarif besar-besaran senilai $370 miliar pada impor dari Tiongkok. Sebagai respons, Tiongkok memberlakukan tarif pada $120 miliar barang-barang AS. Tidak hanya itu, mata uang yuan (CNY) didevaluasi hingga 11% terhadap dolar AS selama 2018-2020.
Menghadapi tekanan AS, Tiongkok diperkirakan akan mengulang strategi devaluasi mata uang untuk mempertahankan daya saing ekspor. Dengan cadangan pasar yang lebih beragam, ketergantungan Tiongkok terhadap AS telah menurun dibandingkan 2018, sehingga memperkuat posisi mereka.
Implikasi pada Indonesia
Indonesia ikut terdampak oleh dinamika ini. Rupiah mengalami depresiasi 10-11% selama periode perang dagang sebelumnya. Jika Tiongkok kembali mendevaluasi CNY, hal ini dapat melemahkan nilai tukar mata uang negara-negara lain di Asia, termasuk rupiah.
Depresiasi rupiah dapat menambah tekanan pada perekonomian Indonesia, terutama karena ketergantungan pada impor bahan baku dan energi. Bank Indonesia akan menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas moneter, sementara eksportir Indonesia akan mendapatkan keuntungan kompetitif yang relatif terbatas dibandingkan Tiongkok.