Dampak Kebangkrutan Jiangsu Delong terhadap Industri Nikel: Peluang dan Tantangan
Jiangsu Delong, produsen nikel terbesar kedua di Indonesia, menghadapi kebangkrutan yang berpotensi mengubah dinamika pasar nikel global. Dengan beban utang yang besar dan kondisi harga feronikel yang tidak menguntungkan, perusahaan ini memasuki fase restrukturisasi, memicu berbagai spekulasi terkait dampaknya terhadap rantai pasokan nikel dunia.
Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana penutupan operasi Jiangsu Delong dapat mempengaruhi harga nikel global, aliran modal di sektor ini, serta dampaknya terhadap perusahaan tambang nikel Indonesia seperti Aneka Tambang (ANTM) dan Vale Indonesia (INCO).
Krisis Jiangsu Delong: Apa yang Terjadi?
Jiangsu Delong mengalami kesulitan keuangan akibat:
1.Penurunan harga feronikel, yang mengurangi profitabilitas smelter.
2.Kenaikan biaya operasional, termasuk bahan baku dan energi.
3.Beban utang besar, dengan perkiraan utang mencapai US$1,5 miliar.
Sejak memasuki fase kebangkrutan, aset perusahaan dibekukan, termasuk operasional beberapa smelter di Indonesia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa produksi nikel akan terganggu, yang bisa berdampak pada harga komoditas ini di pasar global.
Dampak Potensial ke Industri Nikel
Jika Jiangsu Delong benar-benar menghentikan operasinya, pasar global bisa mengalami penurunan pasokan nikel kelas II (NPI & FeNi). Saat ini, produksi Jiangsu Delong di Indonesia mencakup:
5,6% dari pasokan nikel global.
15% dari kapasitas produksi nikel kelas II di Indonesia.
Bagaimana dampaknya?
1. Harga Nikel Bisa Meningkat
Jika pasokan nikel berkurang, harga nikel kelas II dapat naik, mendorong keuntungan bagi produsen lain.
Namun, jika GNI (Gunbuster Nickel Industry), anak usaha Jiangsu Delong, tetap beroperasi, dampaknya bisa lebih terbatas.
2.Terganggunya Rantai Pasokan
Jika smelter Jiangsu Delong tidak bisa membeli bahan baku karena keterbatasan keuangan, produksi nikel bisa terganggu.
Beberapa smelter lain di Indonesia mungkin mengambil alih produksi untuk mengisi kekosongan.
3.Dampak ke Saham Perusahaan Nikel di Indonesia
Aneka Tambang (ANTM): Bisa terkena dampak negatif karena ketergantungan pada harga nikel kelas I. Jika produksi nikel kelas II berkurang, permintaan nikel kelas I juga bisa menurun. Namun, potensi kenaikan harga nikel tetap menjadi faktor positif.
Vale Indonesia (INCO): Lebih stabil karena tidak memiliki eksposur besar ke nikel kelas II.
Bagaimana Investor Bisa Menyikapi Situasi Ini?
Perhatikan Pergerakan Harga Nikel
Jika harga nikel kelas II naik, perusahaan yang memiliki fasilitas smelter dengan teknologi modern bisa diuntungkan.
Namun, volatilitas pasar tetap menjadi tantangan yang harus diantisipasi.
Fokus pada Emiten dengan Fundamental Kuat
ANTM masih menjadi pilihan utama dengan proyeksi pertumbuhan EBITDA 3%-5% di FY25-26.
Vale Indonesia (INCO) lebih aman karena memiliki ketahanan operasional lebih baik.
Waspadai Dampak Jangka Panjang
Jika Jiangsu Delong tidak dapat kembali beroperasi, pasokan nikel dunia akan berubah secara struktural.
Hal ini bisa membuka peluang bagi pemain lain untuk mengisi kekosongan pasokan.
Kesimpulan
Kebangkrutan Jiangsu Delong bisa menjad game changer bagi industri nikel global. Jika produksi benar-benar terganggu, harga nikel berpotensi naik. Namun, ketidakpastian tetap ada, terutama jika ada langkah-langkah restrukturisasi yang memungkinkan perusahaan kembali beroperasi.
Bagi investor, memilih saham yang memiliki ketahanan bisnis yang kuat adalah strategi terbaik. ANTM dan INCO tetap menjadi pilihan utama, dengan proyeksi keuntungan yang menjanjikan jika harga nikel global mengalami kenaikan.