Presiden Donald Trump kembali mengguncang pasar global dengan kebijakan terbarunya: tarif 25% untuk semua mobil yang tidak dibuat di Amerika Serikat. Kebijakan ini langsung memicu kekhawatiran pelaku pasar, memukul saham otomotif, dan membuka potensi konfrontasi dagang baru.
Namun, apa sebenarnya dampak kebijakan ini terhadap GDP, inflasi, dan hubungan dagang internasional?
Dampak ke Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi AS
Mengacu pada analisis Federal Reserve tahun 2018, peningkatan tarif rata-rata sebesar ini berpotensi menurunkan PDB AS hingga 0,2% dan menaikkan inflasi (PCE Core) sebesar 0,1%.
Artinya: Pertumbuhan ekonomi bisa melambat. Harga mobil (dan suku cadang) di pasar domestik bisa meningkat. Konsumen AS akan menanggung beban lebih tinggi.
Negara-Negara yang Terdampak Langsung
Tarif ini akan sangat berdampak pada negara pengekspor mobil ke AS, terutama Mexico, Jepang, Korea selatan.
Total kendaraan impor mencapai lebih dari 15 juta unit, dengan nilai lebih dari $217 miliar, ditambah $90 miliar untuk auto parts.
Potensi Efek Domino Global
Tarif ini tak hanya berdampak ke dalam negeri, tapi juga ke: Ekspor besar dari negara seperti Meksiko, Jepang, dan Korea Selatan. Rantai pasokan global otomotif yang sangat kompleks. Risiko balasan tarif (retaliation) dari negara mitra dagang AS. Tekanan terhadap produsen mobil global seperti Toyota, Hyundai, BMW, hingga Volkswagen.
Efek ke Pasar Keuangan
Tak heran, saham otomotif langsung merosot dalam perdagangan after-hours. Investor khawatir pada: Penurunan volume penjualan. Margin keuntungan yang tergerus oleh beban tarif. Ketidakpastian kebijakan dagang ke depan.
Kesimpulan: Proteksionisme vs Efisiensi Global
Meskipun bertujuan melindungi industri otomotif dalam negeri, tarif 25% ini bisa jadi bumerang jika: Menurunkan daya beli konsumen AS, Menyulut konflik dagang yang lebih luas, Mengganggu pertumbuhan GDP dan mendorong inflasi.