Ketegangan antara Donald Trump dan Jerome Powell bukan sekadar pertikaian pribadi. Ini adalah gambaran dari konflik yang lebih dalam pertarungan antara kepentingan politik dan kekuatan moneter di tengah krisis utang nasional yang nyaris tak tertahankan.
Dengan utang nasional AS yang telah menembus $37 triliun, dan sekitar $28 triliun di antaranya harus direfinansiasi dalam empat tahun ke depan, Trump sedang menghadapi kenyataan pahit: beban utang bukan hanya persoalan angka, tapi juga persoalan kekuasaan dan kontrol.
The Fed: Tujuan Awal dan Kenyataannya
Federal Reserve (The Fed) didirikan dengan satu tujuan utama: menjaga stabilitas pasar obligasi AS—khususnya pasar Treasury yang menjadi tulang punggung sistem keuangan global.
Ketika yields naik, harga obligasi jatuh, dan ini bisa memicu kepanikan di seluruh dunia keuangan. Dalam kondisi seperti itu, The Fed diharapkan turun tangan: melakukan intervensi, menstabilkan pasar, dan menjaga kepercayaan.
Namun, kenyataannya hari ini, The Fed tidak lagi sekadar lembaga moneter. Ia adalah aktor politik terselubung, dan Jerome Powell menjadi pusat kekuatan tersebut.
Strategi Trump: Paksa Resesi untuk Turunkan Suku Bunga
Trump menyadari satu hal: ia adalah presiden pertama dalam 40 tahun yang harus menghadapi refinancing utang besar-besaran dalam lingkungan suku bunga yang naik. Untuk mengubah itu, ia merancang strategi yang berani bahkan bisa dibilang ekstrem.
Strateginya:
Menaikkan tarif impor secara besar-besaran.
Mendorong ketegangan dagang hingga pasar saham jatuh.
Menekan ekonomi ke jurang resesi.
Dan dengan itu, memaksa The Fed memangkas suku bunga.
Tujuannya sederhana: turunkan yield obligasi, agar biaya refinancing utang bisa ditekan. Tapi rencana ini tak berjalan sesuai harapan.
Mengapa Strategi Itu Gagal?
Meskipun pasar sempat jatuh hampir 20%, yield justru naik—fenomena yang sangat langka. Lebih parah lagi, The Fed tetap pada pendiriannya, tidak menurunkan suku bunga, dan membiarkan pasar menghadapi gejolaknya sendiri.
Trump kalah dalam permainan tekanan ini. Ia kehilangan senjata utama: leverage atas suku bunga.
Kartu As di Tangan Powell
Dalam permainan kekuasaan ini, Powell memegang semua kartu. Ia bisa:
Menurunkan suku bunga, Menstabilkan yield, Mendorong pasar naik, Dan membantu siapa pun yang ingin tetap berkuasa. Namun, Powell bersikukuh bahwa The Fed “independen.” Masalahnya, Trump dan banyak ekonom tidak percaya itu lagi.
Narasi Kemerdekaan Fed: Fakta atau Fiksi?
Pada tahun 2024, Powell secara tiba-tiba memotong suku bunga tanpa urgensi yang jelas. Banyak pihak menilai langkah itu sebagai bentuk dukungan tak langsung kepada Biden dalam tahun pemilu.
Di saat yang sama, The Fed mengeluarkan pernyataan optimistis tentang ekonomi, padahal data menunjukkan sebaliknya.
Narasinya jelas: Powell membantu Biden, bukan Trump.
Trump Tidak Bisa Memecat Powell—Tapi Powell Bisa “Memecat” Trump
Ironisnya, Trump tidak memiliki kekuasaan untuk memecat Ketua The Fed, meskipun ia adalah presiden terpilih. Namun Powell, dengan kebijakan moneternya, memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi publik, mengubah arah pasar, dan bahkan memengaruhi hasil pemilu.
Dalam konteks ini, terlihat jelas bahwa Trump bukan hanya berhadapan dengan institusi moneter, tetapi juga dengan sistem yang lebih besar—sistem yang, menurutnya, tidak berpihak pada dirinya.
Kesimpulan: Pertarungan Dua Titik Pusat Kekuatan
Apa yang sedang kita saksikan bukan hanya soal kebijakan suku bunga. Ini adalah pertarungan dua pusat kekuasaan: Di satu sisi, Trump, simbol kekuasaan politik dan nasionalisme ekonomi. Di sisi lain, Powell, simbol kekuasaan moneter dan institusi global.
Dan di tengahnya, ada satu aktor yang lebih kuat dari keduanya: utang. Jika utang tidak dikelola, ia bisa menghancurkan siapa saja bahkan presiden.